Pulau yang menjadi taman bagi para pujangga Melayu, kini berubah menjadi pinggiran yang sepi. Hanya segelintir warga yang aktif menulis.
Sebagian besar masyarakatnya berkonsentrasi menjadi nelayan atau pegawai negeri sipil setelah marak pemekaran wilayah dan dibukanya kantor-kantor pemerintahan baru. Yang mengkhawatirkan, buku dan naskah tua itu sendiri semakin rawan raib lantaran pertarungan identitas Melayu dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, yang rajin berburu naskah tua yang berani menawarkan harga hingga Rp 50 juta-Rp 100 juta.
Padahal Pulau Penyengat adalah saksi sejarah akar tradisi keilmuan dan tulis-menulis. Hal ini tak terlepas dari pengaruh istana. Pada tahun 1787 Pulau Penyengat memang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga dan berubah menjadi salah satu pusat pengembangan agama, intelektual, dan tradisi tulis. Para raja sadar perlunya referensi agar masyarakat dapat menajamkan pemikirannya dalam menuliskan suatu karya. Ribuan koleksi buku dan karya tulis pun didatangkan dari India dan Mesir. Sayangnya kini hanya tersisa beberapa ratus buku dan naskah kuno di Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau dan Masjid Sultan termasuk sejumlah naskah karangan Raja Ali Haji yang dikenal luas dengan Gurindam XII-nya.
Pulau yang terletak di bagian Barat Pulau Bintan ini, menurut catatan sejarah, merupakan mas kawin Raja Mahmudsyah untuk Engku Raja Hamidah. Sekilas pulau yang dihuni sekitar 2.000 jiwa ini tampak tidak terlihat istimewa, hanya terlihat pepohonan hijau dengan jajaran rumah-rumah panggung di sepanjang pantai. Namun di Pulau inilah terhampar kekayaan sejarah Kerajaan Riau Lingga.
Kejayaan Pulau Penyengat terlihat dari bangunan-bangunan tua dan makam raja- raja. Masjid Raya Sultan Riau Penyengat atau Masjid Sultan tepat berada di depan gapura masuk desa yang dapat dijangkau dengan perahu kecil kurang lebih 10 menit dari Kota Administratif Tanjung Pinang. Masjid dengan warna kuning mencolok, warna kejayaan kerajaan melayu, ini terdiri dari 13 kubah dan empat menara yang konon dibuat dengan campuran putih telur. Menurut sejarah masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman (1832-1844) tepat pada hari raya Indul Fitri pada 1 Syawal 1249 H.
Ketika Sultan Abdurrahman Muazzamsyah berkuasa di Kerajaan Riau, dia membangun istana megah di bumi Penyengat. Sayangnya istana megah itu kemudian dibumihanguskan oleh Belanda ketika Penyengat jatuh ke tangan Belanda tahun 1911. Namun masih ada sebuah istana raja megah yang masih bisa dinikmati keindahannya di Penyengat, yaitu sisa-sisa bangunan istana Raja Ali (1844-1857) yang hingga saat ini masih tegak berdiri. Bangunan dua lantai yang berdinding kokoh itu kini disebut Istana Marhum Kantor karena Yang Dipertuan Muda Raja Ali Haji wafat di gedung tempat dia melakukan tugas-tugas kerajaan itu.
Selain bangunan-bangunan bersejarah, di pulau ini juga terdapat pusara Permaisuri Sultan Mahmudsyah, pusara Engku Puteri Raja Hamidah, pusara Yang Dipertuan Muda IX Raja Haji Abdullah, dan pusara sastrawan Melayu, pengarang Gurindam XII, Raja Ali Haji. Juga pusara raja-raja yang ada di Pulau Penyengat antara lain; Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah (1777-1784) yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional karena peranannya dalam Perang Riau; Yang Dipertuan Muda VI Raja Jaafar (1808-1832), Raja Riau yang mula-mula merancang pola tata kota di Penyengat; dan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman (1832-1844), penguasa Riau yang membangun Masjid Sultan.
Pulau yang menyimpan sejarah kejayaan imperium Melayu diawal abad ke-19 merupakan tonggak perkembangan sastra dan budaya Melayu di Riau khususnya, dan di Nusantara pada umumnya. Di saat kegiatan tulis menulis belum begitu dikenal di Nusantara, sejarah mencatat tahun 1890-an dua buah percetakan yakni Mathba'atul Al Riauwiyah dan Mathba'atul Al Ahmadi dibangun untuk menerbitkan karya-karya yang dihasilkan oleh para sastrawan.
Tradisi keilmuan Pulau Penyengat kian surut setelah pemerintahan dibubarkan Belanda. Pada tahun 1911, sultan, para penulis, dan cendekiawan meninggalkan Penyengat dan pindah ke Johor, Singapura, dan beberapa kawasan di Kepulauan Riau. Tahun 1930-an, sesungguhnya telah ada usaha menghidupkan kembali tradisi menulis di kepulauan itu, tetapi hasilnya tidak seperti di masa lalu.
Tapi ngomong-ngomong kenapa dinamai Pulau Penyengat ya? Konon suatu ketika ada saudagar yang hendak mampir mengambil air di sebuah pulau yang kaya pasokan air tawar di bagian Selatan Semenanjung Tanah Melayu. Tapi, tiba-tiba saudagar tersebut diserang ribuan lebah yang tersembunyi di pepohonan. Maka dinamailah pulau itu 'Penyengat'.
Cerpen Kipanji Kusmin: Langit Makin Mendung
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar