Rabu, 03 Desember 2008

Lunturnya Akar Pahatan Suku Asmat

Jika hati sudah terjangkit motif ekonomi maka memenuhi kehendak pasar adalah pilihannya. Bagi produk-produk yang dibuat sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mungkin boleh kita mahfum, tapi bagaimana dengan produk budaya?


Suku Asmat sudah terkenal dengan ukiran patungnya. Ukiran dan pahatan patung khas asmat terdiri dari berbagai bentuk. Patung kecil, patung bis, patung cerita rakyat dan panel. Pematung atau pengukir mereka sebut Wow Ipits. bentuk patung mengambil para leluhur sebagai simbol penghormatan.

Setiap alur pahatannya diiringi nyanyian hati, berisi doa-doa sebagai jembatani berkomunikasi dengan alam, hingga lahirlah patung-patung wajah leluhur yang mistis, ukiran flora dan fauna unik, serta ragam kehidupan sehari-hari yang ekspresif.

Dahulu kala, patung - patung dibuat dalam bentuk kasar dan digunakan dalam upacara adat. Setelah itu, patung ditinggalkan di dalam rawa sebagai perwujudan arwah para leluhur yang menjaga hutan. Guratan, cukilan, dan motifnya tak ada dua, hanya bisa diukir suku Asmat sebagai warisan leluhur. Itulah kekuatan ukiran Asmat yang sudah mendunia. Saat musim lelang, para pengukir suku Asmat selalu panen uang. Di sinilah pangkalnya.

Masyarakat Asmat dengan cepat telah memulai penyesuaian cara pikirnya dengan pola-pola pikir orang Indonesia dan Barat. Rumah-rumah panggung mereka telah hiruk pikuk dengan suara televisi atau CD player yang dihubungkan dengan speaker. Harga ukiran Asmat memang patut dihargai tinggi, tetapi uang yang terlalu tinggi digenggam rupanya bisa serupa racun yang merusak motivasi para pengukir Asmat.

Bisa dibayangkan, karena dalam lelang Pesta Budaya Asmat beberapa waktu lalu terjual 227 hasil ukiran dengan total transaksi sebesar 1,518 miliar rupiah. Lelang tersebut diikuti 230 pengukir dari tujuh distrik. Diantara karya ukir yang turut dalam lelang terdapat dua buah ukiran dari pengukir Kampung Ats dan Kampung Ambisu yang masing-masing dihargai 30 juta rupiah.

Saat menerima uang kontan hasil lelang, pengukir Asmat lekas menghabiskannya ke toko-toko di Agats, ibukota Asmat. Barang-barang elektronik laku keras. Mereka juga membeli genset untuk mengalirkan listrik. Masyarakat Asmat tidak lagi mengukir pinggan kayu dan bumbung air untuk makan dan minum, tapi membeli barang-barang pecah belah pabrikan.

Telah terjadi pergeseran orientasi hidup pengukir Asmat. Mereka mulai berhitung dengan keinginan pasar. Akibatnya, arah pahatan para pengukir Asmat menjauh dari apresiasi ungkapan hati. Interaksi dengan dunia luar yang intens membuat mereka kehilangan kendali pasar. Suku Asmat kehilangan bentuk alaminya yang memesona dan tidak tercemar. Kondisi ini tampak dari munculnya motif dari budaya lain, seperti motif ukiran Bali dan motif naga.

Tidak ada komentar: