Pulau yang menjadi taman bagi para pujangga Melayu, kini berubah menjadi pinggiran yang sepi. Hanya segelintir warga yang aktif menulis.
Sebagian besar masyarakatnya berkonsentrasi menjadi nelayan atau pegawai negeri sipil setelah marak pemekaran wilayah dan dibukanya kantor-kantor pemerintahan baru. Yang mengkhawatirkan, buku dan naskah tua itu sendiri semakin rawan raib lantaran pertarungan identitas Melayu dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, yang rajin berburu naskah tua yang berani menawarkan harga hingga Rp 50 juta-Rp 100 juta.